Aku tidak suka saat istirahat. Karena aku akan kembali sendirian. Ketika hampir semua orang keluar, sekedar menghirup udara segar nya luar kelas. Aku tinggal di kelas, duduk di balik mejaku di pojok, mengambil pensil dan mulai menggambar di atas buku sketsaku. Ketika hampir semua orang keluar, sekedar untuk jajan dikantin. Aku duduk di bukit belakang sekolah, memakan bekalku sendirian. Aku memang tidak pandai berbicara. Mungkin teman-teman pun tak ada yang mau mengobrol dengan orang pendiam sepertiku.
Istirahat hari itu berbeda. Beberapa anak perempuan memilih diam di kelas. Mereka berkumpul di meja Jenny ribut membicarakan Riyan. Anak baru berwajah manis, bertubuh tinggi yang ku dengar baru saja membuat grup futsal sekolah kami juara lomba champion cup untuk pertama kalinya. Jessy sudah tentu paling semangat membicarakannya, Jessy duduk tepat disebelahya. Bahkan Tria mengacung-acungkan kertas bertuliskan beberapa digit angka tanda dia sudah mendapatkan no ponsel Riyan. Aku bukannya tak peduli.
Libih tepatnya tau diri. Ketika tadi pagi aku melihat Riyan keluar dari gerbang rumahnya. tepat di depan rumahku. Acuh dia berlalu tanpa menghiraukan senyumanku. Aku tahu jawaban atas perasaanku.
Libih tepatnya tau diri. Ketika tadi pagi aku melihat Riyan keluar dari gerbang rumahnya. tepat di depan rumahku. Acuh dia berlalu tanpa menghiraukan senyumanku. Aku tahu jawaban atas perasaanku.
Dan malam itu sudah hampir larut, ketika Riyan mengetuk rumahku. Dia mengenakan piyama, tersenyum canggung dan berjalan seenaknya masuk ke dalam rmembuat aku kebingungan. Dan entah bagaimana caranya dia sudah berada di kamarku. Memuji-muji hasil lukisan karyaku yang aku tempel di dinding dan di buku sketsaku. Aku senang dan dalam sekejap harus kembali dibuat pusing karena dia yang buru-buru pergi kembali ke rumahnya, yang tepat di sebelah rumahku.
Istirahat hari ini aku memberanikan diri menghampiri Riyan, yang duduk tidak jauh di depanku. Aku ingin bertanya tentang kejadian tadi malam, dan menunjuk beberapa lukisanku. Riyan bilang dia tidak ingat apa-apa, dan buru-buru keluar padahal aku belum sempat menunjukan sketsaku.
Malam itu Riyan kembali datang ke rumahku, mengenakan piyamanya. Kali itu aku dan Riyan mengobrol lebih banyak. Aku cerita padanya aku ingin menjadi pelukis terkenal seperti pelukis legendaris indonesia, Affandi atau pelukis terkenal dunia seperti Vincent van Gogh atau Picasso. Riyan juga bercerita dia ingin menjadi pesebak bola dunia seperti Messi atau Ronaldo.
Istirahat keesokan harinya aku menunjukan hasil karya lukisan terbaruku seperti yang Riyan minta semalam. Tapi Riyan terbengong. Dia hanya bilang gambarku bagus dan dia baru tahu aku suka menggambar. Jenny, Jessy dan Tria tertawa mengejekku. Mereka bilang aku cari perhatian pada Riyan. Aku memandangi Riyan yang sudah melesat keluar, tak percaya. Riyan mempermainkanku.
Malam itu Riyan kembali datang ke rumahku, mengenakan piyamanya. Kali itu aku marah padanya. Aku banjur dia dengan air dingin, menyuruhnya untuk berhenti main-main dan segera keluar dari rumahku dan dia seperti tersadar. Riyan mengrjapkan matanya, memandangiku, memandangi ibu dan ayahku, memandangi ruang tamuku yang dipenuhi lukisanku. Malam itu juga Ibu dan ayah Riyan datang ke rumahku.
Istirahat hari itu gosip tentang Riyan, menyebar. Riyan anak baru kapten futsal, berwajah manis, bertubuh tinggi adalah seorang penderita somnabulisme (sleep walking).


Tidak ada komentar:
Posting Komentar